MENWA Menjawab Tantangan Zaman

Ditulis oleh MENWA MAHADIPA SAT 927 UNIV PGRI SEMARANG On 10:03:00 AM
Menwa Masa Silam
Pada tahun 1960an sampai 1990an, Resimen Mahasiswa (Menwa) pernah menjadi salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang populer untuk diikuti mahasiswa di pelbagai kampus. Kemudahan dalam menjalankan kegiatan dan harmonisnya hubungan dengan pihak militer turut mendukung citra Menwa sebagai unit avonturir yang melaksanakan berbagai kegiatan bernuansa militer yang “jantan”, namun dengan “wajah mahasiswa”.

Apa dinyana, seiring terbitnya SKB 3 Menteri tahun 2000, dan dengan berubahnya sikap militer serta birokrasi pemerintahan dalam pembinaan Menwa, perlahan-lahan popularitas tersebut surut, sedemikian hingga beberapa kampus yang tadinya menikmati kedatangan puluhan bahkan ratusan anggota baru per tahun, bahkan sekarang sudah bersyukur apabila mahasiswa yang bergabung bisa dihitung dengan jari kedua tangannya!

Apa yang terjadi sebenarnya?

Perubahan Iklim Politik dan Kemahasiswaan

Setelah SKB 3 Menteri tersebut, kemudahan dan fasilitas dari militer yang tadinya dinikmati satuan Menwa di berbagai kampus, mendadak dicabut begitu saja. Pendidikan Dasar (DIKSAR) yang biasanya gratis, berubah menjadi harus membayar berbagai biaya pendidikan dan personalia. Latihan dengan senjata yang biasanya dimudahkan dalam meminjam dan menggunakan amunisinya, sekarang sangat dibatasi dan menjadi mahal untuk kantong mahasiswa. Akibatnya, satuan yang tidak dapat beradaptasi, perlahan-lahan kesulitan untuk melaksanakan kegiatan, yang berimbas pada citra bahwa kegiatan Menwa tidak menarik. Tentu saja efeknya jelas : kaderisasi dan regenerasi Menwa terganggu.

Iklim kemahasiswaan sendiri tidak kalah dalam menekan. Berbagai ekskul bernuansa avonturir dan outdoor sudah terlanjur tidak diminati. Sehingga tidak hanya Menwa, ekskul seperti MAPALA, Korps Suka Rela, dan Pramuka, sudah tidak lagi diikuti dalam jumlah puluhan orang per angkatan. Bisa bertahan saja sudah bersyukur. Ini tidak lepas dari kultur Generasi Y yang lebih familiar dengan berbagai kemajuan teknologi digital, media dan komunikasi, dimana interaksinya dengan kemajuan tersebut membuat mereka tidak begitu berminat dalam kegiatan yang bersifat berpetualang/avonturir.

Pada paruh akhir dekade 2000an, Alumni dari beberapa satuan Menwa menyadari bahwa sangat penting untuk menghidupkan kembali satuannya yang banyak mati suri. Mereka menyadari, bahwa nilai-nilai yang diperoleh dari kegiatan dan organisasi Menwa, sangat sulit didapatkan di tempat lain, dan telah mempengaruhi mereka secara positif dalam berkarier. Oleh karena itu, Alumni-alumni tersebut mulai turun terlibat dalam proses kaderisasi, dengan dukungan dana dan fasilitas yang dimiliki, maupun koneksi ke berbagai instansi pemerintah, swasta bahkan militer. Hasilnya, beberapa satuan yang mati suri mulai menerima anggota-anggota baru, yang menjadi bibit penerus satuan ke depannya.

Namun seperti apakah sebenarnya Menwa, sehingga Alumni yang sudah belasan bahkan puluhan tahun terakhir tidak turut terlibat langsung dalam kegiatannya, mau “turun gunung” demi proses regenerasi Menwa?


Menwa Sebagai Kawah Candradimuka Kepemimpinan

Ketika kita menilik Menwa dari sisi lain, sebenarnya banyak yang baru menyadari, bahwa kegiatan Menwa sesuai dengan banyak teori pengembangan diri. Beberapa di antaranya dapat dijabarkan sebagai berikut;

Pertama, kegiatan Menwa banyak yang bersifat hands-on, yaitu keterlibatan langsung partisipan dalam kegiatan. Simulasi, latihan, gladi, dan bahkan berbagai penugasan “mencemplungkan” anggota langsung di dalam kegiatan. Sehingga proses pembelajaran dirasakan baik secara tangible (dirasakan dengan kelima indera) maupun intangible (pembelajaran yang secara tidak langsung dirasakan). Kegiatan seperti ini menjadi modal kuat anggota Menwa dalam menghadapi berbagai tantangan di dunia kerja.

Kedua, keluar dari zona kenyamanan. Struktur kuasi-militer, serta kegiatan yang banyak berbeda dengan UKM  lain yang biasa dilakukan, boleh dikatakan sebagai “dunia baru”. Ketika seseorang keluar dari zona kenyamanan, dampaknya ialah : ia sudah belajar mengambil resiko (menjadi risk taker), harus beradaptasi (berlatih menjadi orang yang adaptif), dan berpikir kritis terhadap kualitas dirinya (self appraisal).

Ketiga, kesukarelawanan dan pengabdian masyarakat (volunteerism and civic service). Berbagai kegiatan Menwa tidak dilaksanakan atas dasar ikatan dinas, namun atas dasar sukarela, serta bekal keyakinan bahwa apa yang dijalankan akan menjadi bekal dalam mengabdi kepada masyarakat, baik secara praktis selama menjadi mahasiswa, maupun di dalam masyarakat nantinya.

Oleh karena itu Menwa menjadi media dan sarana pengembangan soft skill tanpa harus dicekoki SKS perkuliahan dan teori kepemimpinan formal. Penempatan seorang anggota Menwa dalam berbagai posisi komando dan kestafan, membuat dia belajar memandang persoalan dari berbagai segi. Adanya tugas yang harus dilaksanakan dengan semboyan “Tugasku adalah Kehormatanku” merupakan sarana langsung belajar menaklukkan tantangan ke depan.

Tentu saja dalam melaksanakannya, kerja sama dan organisasi adalah komponen integral dari Menwa. Oleh karena itulah berbagai struktur organisasi militer diadaptasi dalam sebuah susunan organisasi kuasi militer Menwa, yang menjadi sarana pembelajaran organisasi alternatif di dunia kemahasiswaan.


Menwa = Militeristik?

Menwa sering dikaitkan dengan isu “militerisme” atau “Menwa yang militeristik”. Pada dasarnya, pendefinisian kedua jargon tersebut telah dipengaruhi trauma masyarakat era Orde Baru atas ekses yang muncul di masa silam. Perlu diakui, posisi Rektor di masa lalu yang menjadi KAMATRIK HANSIP di perguruan tinggi, banyak disalahgunakan oknum untuk kepentingan politik praktis Rektorat, dengan melibatkan Menwa sebagai unsur KODAM di kampus. Akibatnya, citra Menwa tercemar oknum Menwa yang menjadi “pengawal dan tukang pukul Rektor”. Tentunya perubahan citra Menwa untuk menuju UKM ideal bagi pengembangan diri mahasiswa, diperlukan demi kelangsungan organisasi Menwa, terutama pasca SKB 3 Menteri tahun 2000, dimana posisi formal Rektor sebagai unsur Pertahanan Sipil di kampus dihapus.

Oleh karena itu, sepatutnya “militeristik” tidak didefinisikan semata-mata menjadi “bagian dari mesin politik praktis militer”, melainkan “ mengambil elemen struktur organisasi serta kegiatan militer yang dilaksanakan dalam kerangka kegiatan kemahasiswaan”. Menjadi seseorang yang “militeristik” semestinya berarti seseorang yang telah mengadaptasikan sikap disiplin lahir dan batin, kerjasama yang baik dengan rekannya, serta pemahaman atas nilai luhur pembelaan negara. Tentu dengan tambahan berupa penampilan yang rapi dan enak dipandang, sebagai bagian dari pembentukan citra.

Di sinilah Menwa mengambil peranan di dalam ranah kehidupan kemahasiswaan di kampus. Menwa mesti menjadi jembatan antara masyarakat yang telah mengalami era kebebasan informasi dan berpendapat, dengan militer negara Republik Indonesia yang sedang melakukan reformasi internal, yang diharapkan berujung dengan tercapainya masyarakat madani (civil society).


Tantangan Menwa ke Depan

Saat ini tantangan dalam dunia akademik, kemahasiswaan dan bahkan dunia kerja jauh berkembang dari dekade sebelumnya. Mahasiswa dituntut untuk menjalani perkuliahan lebih serius, mendapatkan nilai yang baik, dan lulus tepat waktu. Eksesnya, kesempatan dan waktu untuk aktualisasi diri dalam organisasi kemahasiswaan menjadi terbatas. Akibatnya, mahasiswa yang lulus hanya berbekal hard skill akademik, mengalami kesulitan dalam bekerja ataupun mendapat pekerjaan.

Padahal, menurut penelitian dalam buku “The Engineer of 2020”, beberapa sifat yang diharapkan untuk mahasiswa kini dan masa depan adalah bekal kreativitas, komunikasi, bisnis dan manajemen, serta kepemimpinan. Sifat-sifat ini tidak diajarkan melalui bangku kuliah secara langsung, namun melalui pengalaman di organisasi dan kegiatan kemahasiswaan.

Menwa memiliki tujuan mendidik seorang “Sarjana Plus”, yang tidak hanya lulus berbekal hard skill semata, namun juga dengan soft skill  yang membantunya mengaruni kehidupan pasca perkuliahan. Maka, terkait kebutuhan mahasiswa di atas, semua kegiatan dan kurikulum pendidikan serta pelatihan Menwa harus diarahkan memenuhi kebutuhan tersebut. Sudah tidak zamannya “cangkir mendatangi teko”, dalam arti organisasi tertentu merasa paling bagus dan semua orang yang berkepentingan harus bergabung dengan mereka. Namun bergeser ke “teko mendatangi cangkir”, dimana organisasi harus mempromosikan kepada calon pemangku kepentingan, kelebihan dari organisasi sehingga mereka mau bergabung. Dalam hal ihwal Menwa, adalah tugas dari tiap satuan Menwa untuk mempromosikan berbagai aspek positif seputar Menwa, yang tidak melulu harus hard military knowledge, namun juga apa yang bisa dipelajari dan ditransfer dari pengalaman kemenwaan, ke dalam aplikasi untuk berkarya baik di dalam bangku kuliah maupun di dunia kerja.

Ada dua kata yang menjadi kunci di sini, yaitu “siap” dan “mampu”. Diilhami oleh titipan pesan Alm. Abdul Haris Nasution kepada Menwa, Menwa harus menjadi organisasi yang bermotivasi (melambangkan “siap”), dan menjadi bagian dari milisi yang siap membela negaranya (melambangkan “mampu”). “Siap” juga bermakna pembangunan kapasitas, baik dari struktur organisasi maupun kesiapan kurikulum pendidikan dan pelatihan. Di sisi lain, “mampu” juga bermakna pembangunan kapabilitas, yang terkait dengan kualitas kader, organisasi serta kegiatan Menwa itu sendiri.

Analogi yang tepat adalah, Menwa harus membangun wadahnya terlebih dahulu, dilambangkan dengan “teko” (kapasitas), dan lalu mengisinya dengan “air” (kapabilitas). Dengan demikian, hanya pada saat itulah, Menwa dapat berbagi dengan yang lain, mendatangi dan mengisi gelas-gelas yang kosong, yang haus ilmu dan siap untuk berbakti untuk Ibu Pertiwi.

Izinkan saya tutup opini ini dengan semboyan Menwa yang tidak lekang oleh zaman : “Widya Çastrena Dharma Siddha” – Penyempurnaan pengabdian dengan ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan.
MENWA!
oleh Enrico Aryaguna* (Catatan) pada 5 Oktober 2010
*Alumni Muda Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon I / ITB
Categories: